Dalam pembiayaan KPR syariah dengan Akad Al Murabahah, Bank syariah berperan sebagai penjual sedangkan nasabah sebagai pembeli. Ada beberapa hal yang harus anda ketahui agar transaksi ini menjadi sah barokah serta tentu saja sesuai syariat islam. Berikut adalah poin poin tentang transaksi tersebut serta hal hal yang harus diperhatikan
Peristiwa : KPR Syariah Al Murabahah
Objek Transaksi : Rumah (baru/second siap huni)
Penjual 1 : Developer rumah
Penjual 2 : Bank syariah
Pembeli : Nasabah
Akad : Bay Al Murabahah (jual beli dengan margin yang ditentukan)
Berikut langkah langkah dalam KPR Al Murabahah :
- Nasabah mencari rumah yang dikehendaki sendiri atau boleh bertanya ke bank karena bank biasanya juga sudah memilki developer rekanan
- Nasabah mengajukan KPR ke Bank dengan melengkapi syarat tertentu
- Bank akan memproses pengajuan KPR nasabah, jika disetujui bank akan memberikan SP3 (surat prinsip persetujuan pembiayaan) atau istilah lainnya OL (offering letter). Dalam SP3/OL akan berisi beberapa hal berikut :
- Plafond pembiayaan
- Harga Beli Bank kepada developer , misal 100 jt
- Harga Jual bank kepada nasabah sebelum uang muka, misal 150 jt
- Uang Muka nasabah, misal 10 jt
- Harga jual setelah uang muka 140 jt
- Jangka waktu pembiayaan, misal 120 bulan
- Nasabah harus membaca detail OL sebelum menandatangani dan melaksanakan akad karena OL ini berisi syarat-syarat yang dari bank.
- Ketika nasabah setuju maka bank akan mengarrange akad pembiayaan
Nah akad ini adalah hal inti yang membedakan antara kredit riba dan pembiayaan syariah, jadi nasabah harus menaruh perhatian yang lebih. Tidak boleh nasabah hanya mempercayakan prosesnya kepada bank/marketing tentang prosesi akad. Nasabah harus juga memastikan agar syarat serta rukun jual beli menjadi tepat sempurna.
Secara garis besar skema murabahah adalah jual beli dimana bank akan membeli rumah dari developer kemudian menjualnya kepada nasabah, nasabah kemudian akan membayar hutang pembelian rumah kepada bank dengan cara mengangsur. Namun begitu ada beberapa detail yang harus kita cermati berikut ini :
- Uang Muka
Dalam setiap KPR pasti disyaratkan uang muka atau lebih tepatnya (dari sisi bank) adalah uang yang berasal dari nasabah sendiri minimal sebesar 10%-30% tergantung peraturan internal bank. Nah, porsi uang muka ini jika dalam KPR konvensional (riba) biasanya dibayarkan oleh nasabah langsung ke developer maka dalam KPR syariah porsi uang muka ini adalah pembayaran dari nasabah kepada bank . Jadi secara teknis nasabah seharusnya menyetorkan uangnya kepada rekening sendiri di bank calon pemberi KPR untuk nantinya dibayarkan bersama dengan uang dari bank. Dalam sebuah kasus khusus ketika penjual mengharuskan pembeli (nasabah) membayarkan uang muka yang nantinya akan dijadikan syarat pemenuhan nilai minimal uang muka dari bank, maka nasabah harus menjelaskan bahwa sebenarnya ini uang muka kepada bank, akadnya adalah titip. Mengapa soal uang muka ini penting, dikarenakan jika uang muka ini sudah diakadkan sebagai uang muka jual beli dari pembeli (nasabah) ke penjual (developer) maka terjadilah jual beli, secara syariah islam rumah tersebut sudah berpindah kepemilikan kepada nasabah dan akibatnya KPR Murabahah tidak bisa diberikan oleh bank karena objek sudah menjadi milik nasabah secara syariat. Dalam hal ini nasabah nantinya bisa mengajukan KPR dengan akad lain yaitu Musyarakah Mutanaqisoh.
- Proses alur jual beli
Dalam transaksi in melibatkan 3 pihak yaitu penjual 1, (developer) penjual 2 (bank) pembeli (nasabah). Dalam transaksiini akan terjadi 2 kali proses jual beli yaitu dari penjual 1 ke penjual 2 dan dilanjutkan penjual 2 ke pembeli (nasabah). Patut diingat bahwa dalam syariat islam jual beli itu asal memenuhi syarat dan rukunnya maka sudah sah dan barang berpindah kepemilikan. Adanya sarana penunjang seperti akad tertulis, notariel dan wujud lainnya maka itu adalah opsional. Hal terpenting adalah memastikan adanya transaksi jual beli jual beli tadi. Bank biasanya memilih tidak mendokumentasikan jual beli antara penjual 1 dan penjual 2 (bank) sedetil jual beli antara bank dengan nasabah, tentu banyak pertimbangan, namun secara syariah jual beli ini sah, dan bank berhak menjual barang (rumah) tersebut kepada pihak lain (nasabah).
Wujud Jual beli antara penjual 1 (developer) dengan bank
Wujud jual beli ini bisa sangan fleksibel, bisa jadi bank memilih jalan transaksi lisan. Misalnya ketika ketiga belah pihak berada dalam satu ruangan untuk akad maka bank mengatakan bahwa bank membeli rumah xxx milik developer dengan nilai xxx, ketika developer mengatakan iya maka jual beli sahh..seperti hanlnya ijab kabul pernikahan..kedua belah pihak resmi jadi suami istri ketika manten lelaki mengucap menerima bukan ketika kedua pengantin menandatangai di buku nikah. Atau dengan wujud lain, seperti di salah satu bank syariah, bank tersebut menggunakan media berupa PO (purchase order) sebagai pencatatan transaksi jual beli antara developer dengan bank.
Wujud Jual beli antara bank dengan nasabah
Transasksi ini umumnya akan didokumentasikan dengan lengkap legal formal oleh bank. Nasabah akan menandatangani akad murabahah (jual beli) dan juga akad-akad lain di hadapan notaris. Nasabah pun biasanya akan dibebankan biaya biaya pengikatan tersebut . Proses AJB formal (antara developer dan nasabah) dilakukan demi memenuhi aspek hukum formal agar nantinya sertifikat bisa berganti kepemilikan kepada nasabah. Proses AJB ini sebenarnya bukan merupakan rangkaian transaksi pembiayaan syariah namun semata mata memenuhi persyaratan balik nama secara hukum positif Indonesia.
Proses Pencairan
Setelah akad pembiayaan selesai dilaksanakan, nasabah harus membayar biaya-biaya yang biasanya adalah sebagia berikut :
- Biaya administrasi
- Premi asuransi jiwa dan kebakaran agunan
- Biaya notaris
- Biaya pajak penjual (PPH) dan pembeli (BPHTB)
Bank kemudian akan mencairkan pembiayaan berupa uang yang dikreditkan ke rekening nasabah (sebagai bukti hutang) dan kemudian bersama dengan porsi nasabah (uang muka) ditransfer ke rekening developer.
Masa-masa angsuran
Dari sisi teori perbankan model sekarang ini, penggunaan pembiayaan jangka panjang dengan skema jual beli sebenarnya membuat perbankan menerima resiko sangat tinggi dikarenakan bank tidak bisa menaikkan nilai margin atas pembiayaan yang sudah dilempar. Hal ini lah yang mengakibatkan biasanya angsuran pembiayaan jangka panjang dengan akad murabahah akan relative lebih besar dari akad lainnya, walaupun kadang bank memberanikan diri memberikan angsuran yang kompetitif.
Dari sisi nasabah yang memperoleh pembiayaan dengan akad murabahah maka nasabah akan tenang karena memperoleh kepastian angsuran. Nasabah tidak perlu risau akan kenaikan total angsuran sebagiamana yang terjadi pada KPR konven. Dalam kondisi ekstrim seperti tahun 97 dahulu, bunga naik tinggi,,,maka nasabah bank syariah nyantai saja…
Demikian sekilas tentang KPR Syariah dengan akan Murabahah semoga bermanfaat..